Laporan Kegiatan Outing Class. Kali ini saya akan membagikan sebuah contoh dari laporan kegiatan outing class saya saat masih semester 1. Kegiatan outing class tersebut sebagai salah satu kegiatan dari Matkul Agama. Kegiatan outing class yaitu Ziarah Makam Wali Songo yang ada di sekitar Kudus. Berikut laporannya
“ZIARAH MAKAM WALI
SONGO”
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Outing class merupakan salah
satu cara metode pembelajaran di luar kelas yang bisa menambah pengetahuan serta pola pikir
mahasiswa. Sampai saat ini, outing class merupakan media yang paling efektif dan efisien dalam menyampaikan suatu ilmu pelajaran bukan hanya dari teori saja, kebenaran dan bukti
nyata dilapangan perlu kita ketahui. Adapun
kita akan melaksanakan outing class di tiga tempat antara lain Makam Sunan
Muria, Makam Sunan Kudus, dan Makam Sunan Kalijaga.
B. TUJUAN
Adapun tujuan dalam kegiatan
ini adalah selain untuk memenuhi mata kuliah Pendidikan Agama Islam kegiataan
ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas bagi mahasiswa dan dapat
menerapkannnya di dalam perjalanan, ditempat tujuan, maupun dalam
perjalanan pulang.Misalnya dalam pelajaran agama mahasiswa dapat mengerjakan
ibadah sholat dalam perjalanan, dengan berhenti di Masjid yang dilewatinya. Sedang
ditempat tujuan siswa dapat melihat langsung bukti-bukti
sejarah dalam penyebaran agama Islam di Indonesia khususnya di daerah Jawa
Tengah.
C.
MANFAAT
Manfaat Outing Class ini
antara lain adalah :
1.
Menambah ilmu pengetahuan,
wawasan yang umum dan luas
2.
Mengenal tempat-tempat
bersejarah di Kota Demak
3.
Mengetahui
asal-usul makam – makam bersejarah
4.
Menjalin
kerjasama antar mahasiswa
5.
Mempererat kebersamaan sesama
mahasiswa
BAB II
LAPORAN HASIL
OUTING CLASS
A.
MAKAM SUNAN MURIA
Sunan Muria yang memiliki nama asli Raden Umar Said adalah putra Sunan
Kalijaga dengan Dewi Saroh. Nama Muria diambil dari nama tempat tinggal
terakhir beliau di lereng Gunung Muria, kira-kira delapan belas kilometer ke
utara Kota Kudus. Seperti ayahnya, dalam berdakwah beliau menggunakan cara
halus, ibarat mengambil ikan tidak sampai mengeruhkan airnya. Itulah cara
yang ditempuh untuk menyiarkan agama Islam di sekitar Gunung Muria.
Berbeda dengan sang
ayah, Sunan Muria lebih
suka tinggal di daerah yang sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk
menyebarkan agama Islam. Tempat tinggal beliau terletak di salah satu puncak
Gunung Muria yang bernama Colo. Di sana Sunan Muria banyak bergaul dengan rakyat jelata sambil
mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut.
Beliaulah satu-satunya wali yang tetap mempertahankan kesenian gamelan dan
wayang sebagai alat dakwah untuk menyampaikan ajaran Islam. Salah satu
hasil dakwah beliau melalui media seni adalah tembang Sinom dan Kinanti.
Sunan Muria sering berperan sebagai penengah dalam konflik internal di
Kesultanan Demak (1518-1530). Beliau dikenal sebagai pribadi yang mampu
memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya
pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari
Jepara, Tayu, Juwana hingga sekitar Kudus dan Pati. Peranan serta jasa Sunan Muria semasa hidupnya
membuat makam beliau yang terletak di Gunung Muria sampai hari ini tidak pernah
sepi peziarah.
Sunan Muria dimakamkan di atas puncak bukit
bernama bukit Muria. Dari pintu gerbang masih naik lewat beratus tangga menuju
ke komplek
makamnya, yang terletak di belakang Masjid Sunan Muria. Mulai naik
dari pintu gerbang pertama paling bawah hingga sampai pelataran Masjid jaraknya
kurang lebih 750 meter jauhnya.Setelah kita memasuki pintu gerbang makam,
tampak di hadapan kita pelataran makam yang dipenuhi oleh 17 batu nisan.
Menurut Juru Kunci makam, itu adalah makamnya para prajurit
dan pada punggawa (orang-orang terdekat, ajudan dan
semacam Patih dalam Keraton).
Di batas utara pelataran ini berdiri
bangunan cungkup makam beratapkan sirap dua tingkat. Di
dalamnya terdapat makamnya Sunan Muria. Di sampingnya sebelah timur, ada nisan
yang konon makamnya puterinya perempuan bernama Raden Ayu Nasiki.Dan tepat di
sebelah barat dinding belakang masjid Muria, sebelah selatan mihrab terdapat
makamnya Panembahan Pengulu Jogodipo, yang menurut keterangannya Juru
Kunci adalah putera sulungnya Sunan Muria.
B.
MAKAM SUNAN KUDUS
SUNAN KUDUS Ja'far Sodiq, atau yang
lebih dikenal dengan sebutan Sunan Kudus adalah putera dari Raden Usman Haji
yang bergelar dengan sebutan Sunan Ngudung di Jipang Panolan (ada yang
mengatakan letaknya disebelah utara kota blora). Dalam hubungan ini di dalam sejarah,
kita mengenal pula seorang wali yang tekenal di Iran, yang hidup dalam abad ke
VIII, yang namanya juga Ja'far Sodiq seorang Imam Syi'ah yang keenam.
Semasa hidupnya Sunan Kudus mengajarkan
agama Islam disekitar daerah Kudus khususnya dan di Jawa Tengah pesisir utara
pada umumnya. beliau terhitung salah seorang ulama, guru besar agama yang telah
mengajar serta menyiarkan agama Islam di daerah Kudus dan sekitarnya. Terkenal
dengan keahliannya dalam ilmu agama. Terutama dalam Ilmu Tauhid, Usul , Hadits,
Sastra Mantiq dan lebih-lebih di dalam Ilmu Fiqih.
Oleh
sebab itu beliau digelari dengan sebutan sebagai Waliyyul 'Ilmi. Menurut
riwayat beliau juga termasuk salah seorang pujangga yang berinisiatif mengarang
cerita-cerita pendek yang berisi filsafat serta berjiwa agama. Diantara buah
ciptaannya yang terkenal, ialah Gending Maskumambang dan Mijil. Adapun Imam
Ja'far Sodiq yang terkenal di Iran itu tidak saja sebagai seorang imam dari
kaum Syi'ah, akan tetapi juga sebagai seorang yang terkemuka di dalam soal-soal
hukum maupun ilmu pengetahuan lainnya. Dengan demikian, maka menurut hemat kita
Ja'far Sodiq yang terkenal di Iran sebagai seorang wali, seorang imam dari
golongan Syi'ah yang amat dipuja serta dihormati itu, kiranya bukanlah Ja'far
Sodiq seorang wali yang menjadi salah seorang anggota dari kesembilan wali di
Jawa, yang makamnya terdapat di kota Kudus, adapun Ja'far Sodiq yang kemudian
ini, terkenal dengan sebutan Sunan Kudus. Disamping bertindak sebagai guru
agama Islam, juga sebagai salah seorang yang kuat syariatnya, Senan Kudus-pun
menjadi senopati dari kerajaan Islam di Demak.
Antara
lain yang termasuk bekas peninggalan beliau adalah Masjid Raya di-Kudus, yang
kemudian dikenal dengan sebutan masjid menara Kudus. Oleh karena di halaman
masjid tersebut terdapat sebuah menara kuno yang indah. Mengenai asal-usulnya
nama Kudus menurut dongeng (legenda) yang hidup dikalangan masyarakat setempat
ialah, bahwa dahulu Sunan Kudus pernah pergi naik haji sambil menuntut ilmu di
tanah arab, kemudian beliaupun mengajar pula di sana. Pada suatu masa, di tanah
arab konon berjangkit suatu wabah penyakit yang membahayakan, penyakit mana
kemudian menjadi reda, berkat jasa sunan kudus. Oleh karena itu, seorang amir
disana berkenan untuk memberikan suatu hadian kepada beliau. Akan tetapi beliau
menolak ,hanya kenang-kenangan beliau meminta sebuah batu. Batu tersebut
katanya berasal dari kota Baitul Makdis, atau Jeruzalem, maka sebagai
peringatan kepada kota dimana Ja'far Sodiq hidup serta bertempat tinggal,
kemudian diberikan nama Kudus. Bahkan menara yang terdapat di depan masjid
itupun juga menjadi terkenal dengan sebutan menara Kudus.
Tak
heran, jika hingga sekarang makam beliau yang berdekatan dengan Menara Kudus
selalu ramai diziarahi oleh masyarakat dari berbagai penjuru negeri. Selain
itu, hal tersebut sebagai bukti bahwa ajaran toleransi Sunan Kudus tak lekang
oleh zaman dan justru semakin relevan ditengah arus radikalisme dan
fundamentalisme beragama yang semakin marak dewasa ini.
Dalam
perjalanan hidupnya, Sunan Kudus banyak berguru kepada Sunan Kalijaga. Cara
berdakwahnya pun sejalan dengan pendekatan dakwah Sunan Kalijaga yang
menekankan kearifan lokal dengan mengapresiasi terhadap budaya
setempat.Beberapa nilai toleransi yang diperlihatkan oleh Sunan Kudus terhadap
pengikutnya yakni dengan melarang menyembelih sapi kepada para pengikutnya.
Bukan saja melarang untuk menyembelih, sapi yang notabene halal bagi kaum
muslim juga ditempatkan di halaman masjid kala itu.
Langkah
Sunan Kudus tersebut tentu mengundang rasa simpatik masyarakat yang waktu itu
menganggap sapi sebagai hewan suci. Mereka kemudian berduyun-duyun mendatangi
Sunan Kudus untuk bertanya banyak hal lain dari ajaran yang dibawa oleh
beliau.Lama-kelamaan, bermula dari situ, masyarakat semakin banyak yang
mendatangi masjid sekaligus mendengarkan petuah-petuah Sunan Kudus. Islam
tumbuh dengan cepat. Mungkin akan menjadi lain ceritanya jika Sunan Kudus
melawan arus mayoritas dengan menyembelih sapi.
Selain
berdakwah lewat sapi, bentuk toleransi sekaligus akulturasi Sunan Kudus juga
bisa dilihat pada pancuran atau padasan yang berjumlah delapan yang sekarang
difungsikan sebagai tempat berwudlu. Tiap-tiap pancurannya dihiasi dengan
relief arca sebagai ornamen penambah estetika. Jumlah delapan pada pancuran
mengadopsi dari ajaran Budha yakni Asta Sanghika Marga atau Delapan Jalan Utama
yang menjadi pegangan masyarakat saat itu dalam kehidupannya. Pola akulturasi
budaya lokal Hindu-Budha dengan Islam juga bisa dilihat dari peninggalan Sunan
Kudus berupa menara. Menara Kudus bukanlah menara yang berarsitektur bangunan
Timur Tengah, melainkan lebih mirip dengan bangunan Candi Jago atau serupa juga
dengan bangunan Pura di Bali.
Menara
tersebut difungsikan oleh Sunan Kudus sebagai tempat adzan dan tempat untuk
memukul bedug setiap kali datangnya bulan Ramadhan. Kini, menara yang konon
merupakan menara masjid tertua di wilayah Jawa tersebut dijadikan sebagai
landmark Kabupaten Kudus.Strategi (akulturasi) dakwah Sunan Kudus adalah suatu
hal yang melampaui zamannya. Melampaui zaman karena dakwah dengan mengusung
nilai-nilai akulturasi saat itu belumlah ramai dipraktikkan oleh penyebar Islam
di Indonesia pada umumnya.
Kini,
toleransi beragama berada di titik nadir. Ironisnya, toleransi beragama tak
cuma menjadi barang mahal tetapi sudah terlalu langka. Dengan jalan
menghidupkan kembali esensi serta spirit dakwah Sunan Kudus, kiranya masyarakat
muslim bisa mengembalikan lagi wajah Islam yang ramah dan toleran setelah
sebelumnya dihinggapi oleh stigma negatif.Ajaran Toleransi Ala Sunan
Kudusperjuangan Sunan Kudus dalam menyebarkan agama Islam tidak berbeda dengan
para wali lainnya, yaitu senantiasa dipakai jalan kebijaksanaan, dengan siasat
dan taktik yang demikian itu, rakyat dapat diajak memeluk Agama Islam.
C.
MAKAM
SUNAN KALIJAGA
Sunan Kalijaga atau Sunan Kalijogo adalah seorang tokoh Wali
Songo yang sangat lekat dengan Muslim
di Pulau Jawa,
karena kemampuannya memasukkan pengaruh Islam
ke dalam tradisi Jawa.
Makamnya berada di Kadilangu,
Demak.Dialah “wali” yang namanya paling
banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya
adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari tokoh pemberontak
Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut
Islam
Nama kecil Sunan Kalijaga adalah
Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya, Syekh
Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut
asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya.
Masyarakat
Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon.
Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan
Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk
berendam (‘kungkum’) di sungai (kali) atau “jaga kali”. Namun ada yang menyebut
istilah itu berasal dari bahasa Arab “qadli dzaqa” yang menunjuk statusnya
sebagai “penghulu suci” kesultanan.
Masa hidup Sunan Kalijaga
diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa
akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon
dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal
kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula
merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang
“tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah
kreasi Sunan Kalijaga.
Dalam
dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan
Bonang. Paham keagamaannya cenderung “sufistik berbasis salaf” -bukan sufi
panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai
sarana untuk berdakwah.
Ia sangat toleran pada budaya lokal.
Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka
mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan
Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan
lama hilang.
Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan
sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan,
serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa,
perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi
Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta
masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
KESIMPULAN
Kegiatan Outing Class sudah berjalan dengan baik dan
lancar. Dengan adanya kegiatan Outing Class ini mahasiswa dapat mengenal sejarah penyebaran agama Islam di Indonesia
khususnya di daerah Jawa Tengah
B.
SARAN
Kegiatan Outing Class memang sudah seharusnya di
adakan setiap tahun agar bisa menambah ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas
bagi mahasiswanya. Selain itu semoga di tahun-tahun berikutnya kegiatan Outing
Class berjalan lebih baik lagi, terutama dalam hal kepanitiaan maupun dalam
hal managemen waktu dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
http://garissinggung.blogspot.com/2013/06/sejarah-sunan-muria-raden-umar-said.html, (
diakses pada hari Rabu15 Januari 2014 14.30 WIB )
http://atifhidayat.wordpress.com/2009/03/10/sunan-kudus/,
( diakses pada hari Rabu 15 Januari 2014 14.35 WIB)
http://id.wikipedia.org/wiki/Sunan_Kalijaga, (
diakses pada hari Rabu 15 Januari 2014 14.40 WIB )
Demikian Laporan Kegiatan Outing Class. Semoga bermanfaat!
No comments:
Post a Comment